Lanjut ke konten

Ma Yan: Hadiah Ramadhan yang Terlupakan

Agustus 30, 2010

"Perjuangan dan mimpi gadis kecil di pedalaman China untuk meraih pendidikan" Novel oleh Sanie B. Kuncoro, penerbit Penerbit Bintang.

…Masakan Ibu senantiasa terasa lezat. Entah mengapa bisa seenak itu bagi lidahku walaupun masakan itu seringkali hanya berupa sayur kubis berbumbu bawang dan garam. Barangkali itu karena Ibu memasaknya dengan sepenuh hati, sehingga kasih sayang di dalam dirinya kepada kami terbawa dalam ramuan bumbu pada pada setiap masakannya, dan menciptakan kelezatan yang tak tertandingi bagi lidah kami…

Demikian ungkap Ma Yan tentang hidangan sahur dan berbuka di rumah yang dimasak ibunya. Jauh sekali dengan apa yang biasa kita nikmati. Menu buka puasa saja demikian meriahnya, dimulai dari aneka makanan ta’jil, lalu hidangan utama yang ajaibnya ketika Ramadhan kadang lebih royal daripada biasanya. Menu sahur pun demikian, seolah tak berselera jika makan hanya dengan lauk seadanya sisa buka puasa petang tadi. Tapi masih saja kita berkeluh kesah ketika menjalankan puasa. Aktivitas dimundurkan menjadi lebih siang pengerjaannya. Jam sekolah juga kan? Masuk lebih siang, seolah ada permakluman bahwa orang puasa itu butuh waktu tidur tambahan setelah shalat subuh. Betul-betul ‘baik hati’ segala toleransi itu.

Tidak demikian bagi Ma Yan. Ramadhan ataupun bukan, setiap saat baginya adalah bekerja keras dan berkompromi dengan rasa lapar. Setiap hari ia harus berjalan 20 kilometer jauhnya untuk bisa sampai di sekolah. Perjalanan jauh yang dilakukan bersama dengan adik dan teman-teman sekampungnya ini juga seringkali tidak lancar. Di tengah jalan, jika sedang sial, kerap mereka diadang penyamun yang dengan tega merampas benda-benda paling berharga bagi Ma Yan dan kawan-kawannya: alat tulis dan bekal makanan seadanya.

Dikarenakan jauhnya jarak dari rumah ke sekolah dan berbahayanya perjalanan pulang-pergi sekolah tersebut, diputuskan Ma Yan dan adik laki-lakinya yang bernama Ma Yichao untuk tinggal di asrama yang disediakan pihak sekolah. Ayah dan Ibunya bekerja keras membanting tulang bekerja apa saja agar bisa membayar uang sekolah Ma Yan dan adiknya. Ma Yan pun demikian. Ia bekerja keras dengan caranya sendiri karena sadar bahwa orangtuanya hanya bisa membayar uang sekolah dan menyerahkan beras sebanyak 25 kilogram kepada pihak sekolah setiap semesternya. Selebihnya tidak. Tak ada uang jajan, tak ada uang lebih untuk membeli alat-alat tulis. Bahkan pernah Ma Yan menahan lapar selama 15 hari hanya agar ia bisa membeli sebatang pena yang ia inginkan. Selama itu ia hanya makan nasi putih tanpa lauk sehari sekali dan memperbanyak minum.

Hal itu belumlah seberapa, hingga kedatangan ibunya yang mendadak ke sekolah untuk menjemputnya pulang. Selamanya. Ma Yan tak bisa meneruskan sekolah karena Ayah dan Ibu sudah tidak sanggup membiayainya. Semakin terasa tidak adil bagi Ma Yan karena ternyata Ma Yichao adik laki-lakinya masih bisa melanjutkan sekolah. Ketika Ma Yan bertanya mengapa pada Ibunya, ia menjawab: “karena kamu perempuan.”

***

Ma Yan gadis yang terlahir sebagai anak tertua di keluarga miskin yang tinggal di Zhangjiashu, China. Daerah pedalaman yang tak pernah tersentuh hingar-bingar kemajuan ekonomi di China. Saya ‘bertemu’ Ma Yan di sebuah toko buku kecil di Tasikmalaya. Ia ada di rak bersama buku-buku lainnya. Buku ini saya beli sebagai hadiah bagi keponakan perempuan yang tinggal di rumah untuk melanjutkan sekolah. Sayangnya keponakan saya tidak pernah tertarik untuk membacanya hingga kemarin di hari ke-6 puasa saya mengambilnya dari rak, kemudian membacanya. Ma Yan mungkin bukan ‘teman’ yang cocok bagi keponakan saya, tapi barangkali ia akan mendapat tempat di sekolah berbasis kepramukaan yang dirintis oleh pelatih saya dalam kegiatan Kursus Mahir Dasar bagi Pembina Gerakan Pramuka sebulan lalu.

(Nunu -Soca Tasikmalaya)
juga tersedia di:
http://oase.kompas.com/read/2010/08/18/20311760/Ma.Yan:.Hadiah.Ramadhan.yang.Terlupakan.
No comments yet

Tinggalkan komentar